bapak yang terlukai di pinggir jalan
Namun mereka tidak berhasil menemui sang kakak, karena sudah pindah ke Citeureup, bogor. Karena habis ongkos, bapak tua dan anak itu ingin berjalan ke Citeureup, namun baru sampai Bentang Gempar Bapak itu lemas. Jika anak itu jujur, saya merasa wajar kalau bapak itu kelelahan, jarak Tamabun-Bantar cukup jauh, kurang lebih 10 kilometer. Apalagi kalau ingi jalan terus ke Citeu reup, rasanya sulit sekali.
Saya berperang dengan diri sendiri, membantu maksimal atau tidak. Saya tidak ingin berkutat soal apa mereka jujur atau tidak. Karena bagaimana jika mereka jujur, saya ragu membantu maksimal lebih dikarenakan di dompet sayaada uang 10.000 dan 50.000 rupiah. Kalau saya kasih 10.000 tentu tidak menyelesaikan masalah.kalau saya memberi 50.000 uang belanja untuk istri saya melayang.
saya ingat artikel dalam satu majalah, bahwa kebaikan yang sangat dicintai Allah dalam kondisi sulit untuk membantu. Bismillah, saya berikan uang 50.000 itu, sambil menguatkan diri, karena besok saya sudah gajian. Saya katakan silahkan Adik dan Bapak makan, sisanya untuk ongkos. Saya bersyukur dapat mengalahkan rasa pelit.
Sampai di rumah, saya kedatangan tamu, ternyata orang tua murit yang telah lulus dari sekolah tempat saya mengajar mereka bersilaturrahim, dan melihat kondisi rumah yang sedang di bangun. Mereka sangat simpati melihat rumah kami yang belum jadi. Tak ditanya, mereka menawarkan mesin gilir gratis dan memberi bantuan uang satu juta rupiah. Saya sungguh tidak menyangka. Di tahun 2002 itu, uang sebesar itu bisa membeli semen cukup banyak, sungguh pembangunan rumah.
Saya teringat kejadian pada sore harinya. Subhanallah, Allah membalas kebaikan pada orang dijalan, melalui hambanya yang lain. Allah tidak pernah tertukar untuk membalas kebaikan Hambanya. Saya berdoa, semoga Allah selalu menjaga perasaan untuk bersemangat menolong sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar